Tonnie
Melfiansyah
Ketua
Komisariat Depati Amir Bangka Belitung
* Dimuat di Bangka Pos, Selasa 12 Juni 2012
Awal
Februari 2012, Pemerintah telah menyerahkan tiga Rancangan Undang-undang (RUU) yang
merupakan revisi dari UU No. 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) kepada DPR. Ketiga draf RUU yang telah
disampaikan pemerintah itu, masing-masing RUU Pemda, RUU Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada), dan RUU Desa. Ketiga RUU tersebut kini telah mulai dibahas
bersama dengan DPR dan ditargetkan sudah bisa selesai paling lambat akhir tahun
ini sehingga bisa segera diterapkan di tahun 2013.
Berbeda
dengan dua RUU yang lain, RUU Pilkada mendapat atensi yang paling besar
dari berbagai kalangan. Setidaknya ada tiga issue besar dalam RUU Pilkada yang
mendapatkan sorotan serius. Ketiga issue tersebut adalah rencana pengembalian pemilihan gubernur ke DPRD, pemilihan wakil
gubernur yang berasal dari birokrasi dan tidak dipilih satu paket dengan
gubernur, serta larangan keluarga incumbent ikut mencalonkan diri dalam
pilkada.
Setidaknya
ada tiga alasan yang menjadi dasar pemerintah mengusulkan pemilihan gubernur
via DPRD yakni, untuk menekan keletihan psiko-politik rakyat, mereduksi praktik
politik uang dan penghematan dana penyelenggaraan pemilihan gubernur. Sedangkan
alasan pemilihan wakil gubernur dari kalangan birokrasi adalah mengamati
maraknya fenomena pecah kongsi antara gubernur dan wakil gubernur. Adapun
rencana pelarangan keikutsertaan keluarga incumbent dalam pilkada adalah untuk
meminimalisir kesempatan calon memanfaatkan jaringan birokrasi dan APBD dalam
upaya meraih kemenangan dalam pilkada.
Usulan
pemerintah kali ini mendapatkan banyak tentangan. Penentangan ini pun bukan
berasal dari LSM semata, tetapi juga dari para politisi di senayan. Bahkan bisa
dipastikan bila RUU ini kemudian disahkan menjadi UU akan ada beberapa pihak
yang menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi karena RUU ini berpotensi melawan UUD
1945. Misalnya dalam pelarangan keikutsertaan keluarga incumbent dalam pilkada,
walaupun memiliki alasan dan tujuan yang baik, jelas jelas bertentangan dengan
hak asasi setiap warga Negara untuk berpartisipasi aktif dalam seluruh
aktivitas –termasuk mencalonkan diri- sebagaimana dijamin oleh Undang Undang.
Mengenai
posisi wakil gubernur yang tidak dipilih tetapi diambilkan (baca ditunjuk) dari
birokrat tertinggi, juga ditentang beberapa pihak. Akan muncul persoalan jika
kepala daerahnya berhalangan tetap dan wakilnya naik menggantikannya. Padahal
wakil adalah birokrat, yang harus netral. Sementara jabatan kepala daerah itu
jabatan politis.
Selain
itu, menjadi sebuah fenomena yang sudah lazim bila para kepala daerah, bahkan
yang awalnya dari independen atau birokrat setelah menjabat kemudian didekati
oleh partai untuk menjadi ketua partai. Adapun masalah pecah kongsi, seharusnya
bisa dicegah dari awal bila gubernur dan wakilnya memiliki komitmen dan visi
yang sama dalam upaya memajukan daerah. Pemerintah juga bisa membuat aturan
untuk mengatasi terjadinya pecah kongsi tersebut, misalnya dengan pembagian
kewenangan antara kepala daerah dengan wakilnya yang harus diperjelas. Selama
ini, percah kongsi lebih sering disebabkan oleh tidak jelasnya pembagian tugas
antara kepala daerah dengan wakilnya sehingga menimbulkan gesekan-gesekan dalam
jalannya pemerintahan.
Gubernur
Dipilih DPRD, Kepentingan Siapa?
Terlepas dari argumentasi pemerintah
dalam mengusulkan pemilihan Gubernur lewat DPRD, usulan inilah yang mendapatkan penentangan paling keras. Bahkan
tidak sedikit yang mencurigai usulan ini adalah untuk memuluskan langkah partai
penguasa saat ini untuk menguasai jabatan gubernur di seluruh Provinsi. Partai
Demokrat yang hingga saat ini masih menguasai DPRD di sebagian besar daerah,
sudah bisa dipastikan akan menangguk keuntungan dengan model teranyar yang
ditawarkan pemerintah ini. Dengan kata lain, calon gubernur yang diusung Partai
Demokrat lah yang terbanyak bakal memenangkan pilkada oleh DPRD ini.
Di sisi lain, pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan mengesampingkan nilai-nilai demokratis. Jika ditelisik lebih dalam, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat maka jelas demokrasi langsung adalah sistem terbaik, dibandingkan demokrasi keterwakilan. Dalam konteks demokrasi langsung, melibatkan masyarakat terlibat secara keseluruhan dalam menggunakan hak pilih.
Pemilihan oleh DPRD juga tidak akan
mampu menekan biaya politik calon gubernur, bahkan akan berjalan dengan tidak
fair. Pemetaan kekuatan di DPRD akan dengan sangat mudah terbaca dan akan mudah
pula untuk membeli suara anggota DPRD. Metode Pemilihan oleh anggota DPRD hanya
memindahkan praktek politik uang ke ruang yang lebih sempit, yang hanya
menguntungkan segelintir elite saja. Akan lebih terasa oleh masyarakat jika
uang tersebut mengalir ke kantong mereka, toh belum tentu juga mereka memilih
calon yang memberikan uang tersebut. Adapun bila masih banyak masyrakat yang
menjual suaranya hanya dengan uang 50 ribu – 100 ribu dan menggadaikan masa
depannya lima tahun kedepan, maka itu menjadi tugas seluruh elemen bangsa,
terlebih khusus partai politik untuk memberikan pendidikan politik kepada
konstituennya.
0 komentar:
Posting Komentar