Home » » Menolak RUU KKG

Menolak RUU KKG

Written By KAMMI BABEL on Senin, 23 April 2012 | Senin, April 23, 2012


Tonnie Melfiansyah
Mahasiswa STAIN SAS Babel, Ketua Komisariat KAMMI Depati Amir Babel
* Artikel ini dipublikasikan di Bangka Pos, Senin, 23 April 2012

Rancangan Undang Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) yang sudah diusulkan sejak tahun 2011 kini sudah memasuki babak baru, setelah dalam badan legislasi Nasional dijadikan sebagai UU Prioritas di tahun 2012. RUU KKG  yang saat ini sudah mulai dibahas di DPR sejatinya menuai kontroversi di semua lapisan masyarakat, terkecuali bagi sebagian kalangan yang memang menginginkan RUU ini segera disahkan.
Kerancuan RUU ini berawal dari definisi “gender” itu sendiri yang meletakkan gender sebagai produk budaya atau konstruksi sosial semata. Mereka  menganggap semua agama adalah hasil dari produk kebudayaan, yang merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa. Sehingga tak heran mereka mendefinisikan gender secara serampangan. Ketika melihat lebih jauh definisi gender yang dipahami bersama adalah hal yang sangat mudah untuk dipahami terlebih lagi jika dilihat dari sudut pandang keagamaan. Definisi gender dalam RUU bertentangan dengan konsep Islam tentang peran dan kedudukan perempuan. Dalam Islam, pembagian peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan tidak berdasarkan pada budaya, tetapi berdasarkan wahyu yang bersifat lintas zaman dan budaya.

Dilihat dari aspek historis, ide KKG merupakan ide stereotype sebagai wujud perlawanan terhadap penindasan kaum perempuan di Eropa, Penindasan itu didasarkan adanya perbedaan hak antara kaum laki – laki terhadap kaum perempuan. Joan Wallach Scott, seorang sejarawan Amerika berkewarganegaraan Prancis yang dikenal melalui kontribusinya di bidang sejarah feminis dan teori gender, menguraikan bahwa gender adalah unsur konstitutif dari hubungan sosial yang berdasarkan perbedaan-perbedaan antara kedua jenis kelamin. Gender juga berarti cara utama yang menandakan hubungan kekuasaan. (Joanne Meyerowitz, A History of “Gender”, dalam The American Historical Review, vol. 113, No. 5, December 2008).  Oleh karena itu, untuk merombak struktur sosial dan politik yang berprespektif jenis kelamin, Scott membangun konsep gender melalui konstitusi.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, perjuangan membangun struktur sosial berbasis gender tidak langsung diwujudkan melalui konstitusi. Sejak tahun 1990, kaum feminis telah aktif mendirikan kelompok studi wanita di beberapa universitas ternama yang kemudian berkembang menjadi Pusat Studi Wanita (PSW). Melalui kerjasama dengan beberapa pihak asing, di antaranya seperti McGill CIDA (Kanada), The Ford Foundation, The Asia Foundation, AusAID, DANIDA The Royal Danish Embassy dan didukung beberapa kementerian, Proses feminisasi pendidikan berkembang pesat di tingkat perguruan tinggi, terutama di PTAIN. Setelah meraup kesuksesan di bidang pendidikan, perjuangan kaum feminis kemudian berlanjut di dunia politik. Perjuangan mereka kembali menuai sukses dengan disahkannya Undang-Undang yang mempersyaratkan keterwakilan perempuan minimal 30%.
Tidak puas dengan pencapaian di atas, kini kaum feminis kembali berjuang untuk mewujudkan ambisinya berperan di ranah publik dan merombak struktur sosial melalui pengesahan RUU KKG. Dalam RUU ini, kemarahan terhadap struktur sosial yang didominasi laki-laki diekspresikan melalui usaha memarjinalkan nilai-nilai dan filosofi agama sebagai dasar yang menjiwai undang-undang. Selain itu juga upaya untuk menghapus otoritas agama dalam kehidupan pribadi dan sosial, khususnya dalam masalah perkawinan, perwalian, waris (sebagaimana diatur dalam RUU ini pasal 12).
RUU ini juga memaksakan pemahaman empiris ala Marxis dalam merumuskan makna istilah “kesetaraan” dan “keadilan” dengan “kesamaan” dan “persamaan”. Sehingga segala bentuk “ketidaksamaan” bisa disebut sebagai “diskriminasi”, utamanya terhadap perempuan. Hal ini diperkuat lagi dengan penjelasan “asas dan tujuan” dalam bab II, pasal 2 dan 3. Selain itu, RUU KKG ini mengabaikan beberapa hal pokok yang menjadi hajat hidup setiap perempuan, misalnya di bidang ketenagakerjaan, tidak ada pembahasan tentang waktu kerja yang lebih fleksibel bagi wanita yang berkeluarga atau memiliki anak balita, pemberlakuan masa cuti bergaji minimal setahun bagi wanita hamil/bersalin, dan lain-lain.
Penafsiran kodrat perempuan dan laki-laki dalam kedudukannya dianggap  tidak adil serta selalu di diskriminasikan. Rancangan Undang- Undang Kesetaraan Gender banyak bertentangan dengan aturan agama Islam dan etika budaya timur. Secara biologi fisik wanita sangat berbeda karena harus memenuhi karakteristik feminim yang dimiliki. Sangat tidak rasional dengan bentuk fisik tersebut adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki, terutama dalam masalah keluarga. Adakah dalam kondisi ini sama porsi kedudukan ibu dan ayah untuk buah hati. Tentu tidak, ibu 3 kali lebih berjasa dari ayah bagi anak.
Sebagaimana pembagian tugas alamiah ini adalah bentuk keadilan yang seimbang. Walaupun jika dilihat kasat mata perempuan di bawah laki-laki, namun dalam prakteknya ada sisi lain yang ditambah. Begitu pula untuk laki-laki, dengan sederet pekerjaan yang dapat dengan mudah dilakukan, tetap saja ada porsi yang dikurangi. Ia tidak bisa hamil dan melahirkan, tidak bisa menghandle urusan pribadinya secara rapi dan teratur dengan segudang kesibukan pekerjaan yang diemban. Islam datang menawarkan solusi di tengah ketimpangan yang terjadi. Dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing maka formula cerdas adalah saling melengkapi. Demikian aturan Ilahi yang tetap memuliakan keduanya. Walaupun anak lebih taat dengan ibu 3 kali lipat, namun ibu dibawah naungan ayah. Maka seimbang, tidak ada yang dirugikan.
Frame di atas menggambarkan konteks keadilan gender dengan pembagian yang jelas.  Perundangan yang dirancang dan diputuskan harus mengakomodir segala permainan peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Sehingga masing-masing mendapat hak dan kewajiban yang dilindungi.
Dalam hal ini, penolakan RUU KKG sebenarnya bukan tugas ummat suatu agama saja. Melainkan tugas seluruh kaum perempuan tanpa memandang golongan tertentu. Karena essensi penuntutan keadilan bukan cenderung penentangan terhadap nilai agama semata, terlebih menyalahi kodrat perempuan sebagai makhluk sosial. Alangkah naifnya bila kemudian Undang Undang yang dibuat oleh manusia, ternyata bertentangan dan berlawanan dengan kodrat dan fitrah yang bersifat melekat dari awal penciptaan seluruh apa yang ada di alam semesta. 

*Sumber Versi online di bangka pos klik di sini
Share this article :

0 komentar:

KAMMI BABEL

Foto saya
Pengurus Komisariat KAMMI Depati Amir Bangka Belitung. Berdiri Januari 2012 (belum satu tahun), terus bergerak untuk memberikan kontribusi terbaik bagi Bangsa.

Anda Pengunjung ke


web counter