PERMASALAHAN DAN KONDISI MORAL DI INDONESIA
LIA AMELIA
Anggota
KAMMI Komisariat Depati Amir Bangka Belitung
Berbagai kasus moral telah menghiasi berbagai media massa,
baik cetak maupun elektronik, dilihat dari belakang berbagai kasus, seperti
Kasus KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang semakin membudaya, pelanggaran
HAM, pelecehan seksual,pornografi, pelacuran, dan penyalahgunaan narkoba
menjadi permasalahan yang terkesan biasa di mata masyarakat kita sekarang,
bukan sesuatu yang luar biasa dan tidak mengejutkan lagi dipikiran kita.
Permasalahan moral di Indonesia dari hari ke hari semakin
bertambah baik dari segi kualitas maupun lainnya. Upaya-upaya untuk memberantas
(minimal mengurangi) kasus-kasus moral tersebut terus dilakukan oleh pemerintah
(aparat berwajib/kepolisian yang mengatur) maupun masyarakat kita, tokoh
masyarakat lainnya, namun hasilnya belum memuaskan. Terus dibuatnya
undang-undang yang mengatur masalah-masalah seputar kehidupan manusia tersebut.
Serta adanya keberadaan atau hadirnya lembaga-lembaga negara
yang menangani atau mengatur kasus-kasus tersebut ternyata belum menjadi
“senjata ampuh” yang dapat menghentikan bangsa kita dari tindak pelanggaran
moral tersebut. Upaya alternatif yang bisa ditempuh adalah di antaranya
melakukan gerakan besar-besaran yang melibatkan semua golongan atau elemen
dalam masyarakat, baik yang tergabung dalam partai-partai politik, organisasi
massa, LSM maupun perkumpulan-perkumpulan lainnya.
Untuk memberantas kasus-kasus moral yang ada yang
dilakukan dan dimotori oleh kepemimpinan yang bersih dan berwibawa dari para
pemimpin elite kita. Semangat jihad bagi kalangan Muslim juga menjadi “ruh”
yang dapat menjadi pemicu dalam melakukan gerakan-gerakan tersebut. Alternatif
atau cara lain yang baik juga sangat penting adalah melalui pendidikan, baik
formal,informal, maupun nonformal. Dengan upaya-upaya inilah barangkali
kasus-kasus moral di negara kita bisa diminimalisasi, meskipun butuh waktu dan
proses yang panjang.
Adapun masalah moral di Indonesia salah satunya adalah
maslah korupsi, yang memang Indonesia dikenal sebagai juaranya korupsi di
dunia. Sudah bertahun-tahun Indonesia berperingkat terbawah sebagai negara
terkorup di dunia dan seakan-akan tak ada yang beranjak dari masalah keburukan
ini. Terakhir peringkat indeks korupsi di Indonesia kalau gak salah tahun 2009
berada pada posisi 111. Ini memang sangat miris sekali dan sangat jengkel untuk
didengar ditelinga kita, karena bangsa Indonesia yang dikenal dengan bangsa
yang besar ini dipandang sangat “kotor” akibat korupsinya yang merajalela. Ibu
Pertiwi pasti menangis dan menjerit jika melihat anak bangsanya saat ini
sebagai juara korupsi.
Lantas, banyak orang berpikir bahwa korupsi yang sudah
sedemikian parah ini dihubungkan dengan masalah moral. Akar permasalahan utama
korupsi di Indonesia adalah moralitas bangsa yang bobrok, korup dan ambruk. Benarkah
demikian? Pantaslah kita untuk menanyakan agar kita tidak serta merta
mempercayai statement bahwa parahnya korupsi di Indonesia ini akibat
moral bangsa yang buruk. Kita tidak boleh hanya mengkambing hitamkan masalah
moral sebagai penyebab suburnya korupsi di indonesia.
Sayangnya, begitu banyak terdengar upaya kampanye, baik dari
pemerintah, tokoh masyarakat, NGO/LSM, hingga tokoh-tokoh agama tentang seruan
serta imbauan kepada masyarakat untuk terus memperbaiki akhlak dan nilai-nilai
moral yang selama ini dianggap biang terjadinya korupsi di Indonesia. Media
yang digunakan beragam, mulai dari iklan TV, Koran, Majalah, Tabloid hingga
pamflet dan selebaran, yang intinya adalah menekankan kepada masyarakat bahwa,
“jika ingin korupsi dibasmi, maka perbaikilah moral dan akhlak dasar kita,
sebab moral yang bobrok merupakan akar penyebab korupsi di Indonesia”.
Upaya tersebut tidaklah salah, tetapi sangat berpotensi
keliru memandang persoalan secara objektif. Bahkan kekhawatiran terbesar
masyarakat adalah bisa saja upaya kampanye anti korupsi yang terus menerus
menyudutkan masalah moral sebagai biang keladi menjamurnya korupsi, hanya
dijadikan sebagai upaya “cuci tangan”dari para pejabat koruptor. Kita perlu
memandang masalah moralitas ini sangat rawan untuk dipermainkan oleh
pihak-pihak yang sebenarnya terlibat dalam korupsi. Bisa saja moralitas ini
hanya sebagai upaya lempar batu sembunyi tangan ha ha…
Memandang korupsi sebagai masalah moral ini juga bisa
menciptakan ketidak mampuan menguraikan jenis-jenis korupsi secara detail dan
kegagalanlah yang bisa menciptakan solusinya. Ada yang timbul karena rasa
pesimis sebagai akibat kegagalan menguraikan dari korupsi itu. Ini karena
masalah moral begitu luas dan cara penanganannya juga sangat luas. Jadi, tidak
sekedar menangani penyebab dari satu aspek saja, lalu lantas masalah moral
selesai dan korupsi pun punah.
Lantas, orang berpikir karena masalah moral maka yang harus
dibenahi moral masyarakat adalah lewat pendidikan yang bermoral seperti
tarbiyah atau lainnya. Ini jelas terlalu luas dan tidak langsung mengenai
sasaran karena pendidikan lebih condong pada pembentukan karakter dasar. Dan
seringkali karakter lingkungan yang mencerminkan kondisi yang sesuai pada
realitas atau fakta yang sifatnya kekinian. Lingkungan mampu menciptakan
pengaruh yang menjadikan orang yang dibentuk pendidikan larut dalam lingkungan
yang buruk.
Menangani korupsi lewat pendidikan memang sangat perlu,
tetapi ini hanya perlu proses dan perlahan-lahan saja. Pendidikan yang
menciptakan moralitas utama lebih disepakati sebagai upaya penanaman pondasi
moral bahwa korupsi itu adalah tindakan laknat dan kejam yang bisa
menghancurkan kehidupan bangsa. Sekaligus pendidikan moral ada untuk membangun
benteng moral agar tidak terjebol oleh serangan biadab korupsi. Namun demikian,
moralitas yang dibentuk pendidikan tidak bisa digunakan sebagai tameng secara
terus menerus untuk menghadang korupsi.
Kita pasti hangat dengan ucapan Bang Napi dalam sebuah acara
kriminal di salah satu stasiun televisi bahwa “Kejahatan tidak hanya terjadi
karena dari niat pelakunya, tetapi karena adanya kesempatan”. Kalau diuraikan,
dari pernyataan di atas asal korupsi adalah karena niat dan atau kesempatan.
Secara sederhana, jika beracuan pada niat berarti yang menyebabkan korupsi
adalah buruknya moralitas pelakunya. Sedangkan, jika merujuk pada kesempatan
maka yang menciptakan korupsi adalah lingkungannya, betul.. setuju..!!!
Untuk masalah moralitas sudah dijelaskan secara spesifik
sebelumnya. Sejatinya, lingkungan memang sangat berkaitan dengan adanya sistem
yang melingkupinya dan berpengaruh. Jikalau sistem yang ada itu buruk maka akan
memungkinkan mencuat lingkungan yang buruk pula. Begitu pula, sebaliknya. Ada
hubungan searah antara sistem dengan lingkungan.
Ketika kita mencermati kasus korupsi yang marak akhir-akhir
ini, bisa dilihat bahwa sistem yang ada di birokrasi pemerintahan ‘kebobolan’.
Sistem mampu dikibuli atau dibohongi oleh aparat-aparat yang ada di dalamnya
maupun pihak-pihak luar yang ingin ‘mempermainkan’ sistem. Contoh yang paling
kentara adalah kasus mafia pajak. Betapa sistem hukum perpajakan di Indonesia
memberikan peluang bagi aparat pajak, kejaksaan, polisi untuk melakukan
tindakan korupsi.
Contohnya dari Gayus sendiri, jumlah dana yang terkorupsi
adalah 28 miliar. Padahal, ‘Gayus-gayus” lain masih banyak yang berkeliaran dan
menciptakan kerugian negara bertriliun-triliun rupiahnya. Entah dari jumlah
yang dikorupsi ataupun dari nominal kasus yang dimenangkan pelanggar-pelanggar
hokum lain.
Disadari atau tidak, Gayus-gayus ini bisa muncul bak jamur
di musim hujan dikarenakan sistem yang tidak memungkinkan untuk demikian
adanya. Banyak celah sistem yang mudah dimanfaatkan untuk bertindak korupsi.
Sistem yang buruk ini lalu menciptakan lingkungan yang buruk. Jadinya, karena
banyaknya pelaku-pelaku korup itu, lingkungan birokrasi pun ‘mendukung”
keburukan itu. Mungkin sampai ada anggapan bahwa “kalau tidak korupsi, maka
susah untuk cepat kaya atau naik pangkat” di pemerintahan. Anggapan ini pun menjadi
aksi banyak orang untuk melakukan korupsi.
Kalau kita mendalami masalah sistem ini, praktik korupsi
bukan sekedar pada tingkat pelaksanaan saja. Kita harus melihat dari
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan sistem, sebagaimana kerangka atau
membuat susunan sederhana dari sistem itu sendiri. Kalau dari perencanaan, kita
bisa melihat salah satunya dari peraturan perundang-undangan. Undang-undang dan
peraturan pemerintah apakah bisa menjadi alat untuk mengembangbiakkan korupsi.
Jika iya, berarti dari tahap perencanaan terhadap sebuah sistem saja sudah
menabur benih tumbuhnya pohon korupsi.
Kalau dalam tahap pelaksanaan sistem, jelas apa yang terjadi
kebanyakan saat ini tentang kasus korupsi adalah karena pelaksanaan sistem yang
kacau balau. Sistem sangat lemah sehingga memungkinkan koruptor bisa
memanfaatkannya. Belum lagi, tumpang tindihnya sistem yang satu dengan yang
lain. Tumpang tindih ini pun bisa sebagai ruang nyaman bagi koruptor untuk
beraksi.
Dalam hal pengawasan sistem, ini juga merupakan bagian yang
perlu atas suburnya korupsi. Pengawasan yang lemah atas sistem jelas
melonggarkan ruang bagi sosok seperti Gayus untuk mengotak-atik sistem
dengan para pelaku pajak lainnya. Para aparat hukum, karena tidak adanya
pengawasan yang kuat, menjadikan mereka bisa mempermainkan aturan hukum yang
seharusnya menjerat koruptor itu.
Indonesia bisa terus menjadi juara korupsi atau
peringkatnya, karena sistem-sistem buruk dan lemah yang ada terus-menerus.
Reformasi birokrasi memang sudah jalan, tetapi itu belum masuk ke tataran
birokrat itu. Apa gunanya sistem yang bagus, tetapi tidak diresapi oleh para
obyeknya?
Inilah mengapa sistem saat ini tidak berjalan dengan bagus,
baik dari perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan. Jika Indonesia ingin
keluar dari lingkaran korupsi yang mematikan, pembenahan sistem dan moral yang
baik perlu dilakukan. Dan, sistem itu pun diatur secara baik dan menanamkan
moral kepada para pejabat atau masyarakat lainnya kemudian harus dijunjung
tinggi oleh semua obyeknya sampai terselesaikan..:)
0 komentar:
Posting Komentar