M.
Bachtiyar
Anggota Komisariat KAMMI Depati Amir Bangka Belitung
Anggota Komisariat KAMMI Depati Amir Bangka Belitung
Dimuat di Opini Harian Babel Pos, Rabu 30 Mei 2012
Lady Gaga akhirnya membatalkan
konsernya di Indonesia. Gagal pula harapan promotor yang mendatangkan penyanyi
nyentrik bin controversial tersebut untukmeraup keuntungan yang menurut para
analis ditaksir diatas angka sepuluh miliar. Gagalnya konser ini pun tentu
menghadirkan dua sisi yang selalu bertolak belakang. Rasa bahagia yang
meluap-luap bagi berbagai pihak yang sedari awal lantang menyuarakan penolakan,
serta menghadirkan rasa kecewa bagi para penggemarnya yang sudah membeli tiket.
Terhadap rasa kecewa
yang dirasakan para penggemar, menurut hemat penulis tidak usahlah terlalu kita
berempati bagi mereka. Toh tiket mereka pun telah dijanjikan akan dikembalikan
oleh promotor. Tentang kerugian immaterial mereka pun tak usah difikirkan. Mereka
bukanlah penggemar fanatik penyanyi yang dijuluki mother monster
tersebut. Jika ada konser lalin yang menghadirkan penyanyi tenar lain dari luar
negeri toh juga para pembelinya tak jauh-jauh dari mereka. Bagaimana dengan
kerugian promoter yang mencapai miliaran rupiah ? Sama saja. Bahkan mereka
mengatakan siap untuk mendatangkan penyanyi-penyanyi lain yang pasti tak kalah
mahalnya. Berarti sepintas lalu nampaknya kegagalan konser kali ini tidak
memberikan masalah yang signifikan secara bisnis bagi mereka. Jadi, hapuskanlah
segala empati dan simpati kita kepada para pemuja Lady Gaga.
Lalu bagaimana dengan
kebahagiaan para pihak yang dari awal kontra bahkan sampai turun ke jalan
menyuarakan penolakan tersebut ? Menurut hemat penulis, belum saatnya bagi para
pihak yang kontra Lady Gaga merasa puas dan cukup atas apa yang mereka
perjuangkan. Benar bahwa Lady Gaga tidak jadi datang ke Indonesia. tapi potensi
ancaman lain bagi identitas ketimuran dan Bangsa kita juga masih sangat banyak
bertebaran dan mengancam. Tidak hanya yang bersumber dari luar negeri, tetapi
bahkan juga berasal dari lingkungan terdekat kita.
Budaya dan Identitas Bangsa
Salah satu alasan yang dijadikan penolakan
kehadiran Lady Gaga adalah apa yang dibawa, diusung dan dipersonifikasikan oleh
Lady Gaga dalam lagu, tarian, gaya pakaian dan aneka pernak pernik yang
berkaitan dengannya bertentangan dengan budaya bangsa kita. Wajar, mengingat
segala hal tentang perilaku kontroversialnya sudah diketahui seluruh dunia.
Sebagaimana lazimnya selebritis yang seolah tak memiliki wilayah privasi dalam
hidupnya.
Lalu apa sejatinya
budaya bangsa kita ? Kebudayaan nasional menurut TAP MPR No II tahun 1998 didefinisikan
dengan “kebudayaan nasional yang berlandaskan pancasila adalah perwujudan
cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya
manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta
diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dala
segenap bidang kehidupan bangsa.
Sedangkan menurut
Koentjaraningrat, kebudayaan nasional adalah sesuatu yang khas dan bermutu dari
suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan
menimbulkan rasa bangga. Definisi dari pakar antropologi Indonesia ini sangat menarik, Setidaknya ada tiga kata
kunci tentang kebudayaan nasional, khas dan bermutu, identifikasi diri dan
menimbulkan rasa bangga.
Dari definisi tersebut,
budaya yang layak untuk dklaim sebagai kebudayaan nasional adalah produk budaya
yang harus memenuhi prasayarat tertentu. Tentu tidak semua hasil kreasi budaya
yang ada di masyarakat bisa dikategorikan sebagai kebudayaan nasional. Tentu
saja dalam masalah ini, Negara yang diwakili oleh pemerintah harus mampu untuk
menjaga kebudayan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 32
ayat 1 : Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya.
Bila ditilik lebih
jauh, rencana hadirnya Lady Gaga ke Indonesia dapat menjadi cermin bagi seluruh
pihak yang peduli dengan ketahanan budaya bangsa tercinta. Lihatlah fenomena
hari ini yang begitu menyesakkan dada. Para remaja dan pemuda kita seolah
kehilangan identitas kebangsaan mereka. Di berbagai penjuru dengan mudahnya
akan kita temukan para remaja dan pemuda yang galau dengan identitas mereka.
Berdandan, berpakaian, beraksesoris dan sebagainya ala artis idola mereka. Gaya
ala harajuku, K-Pop atau yang lainnya.
Lihatlah pula aneka
kebudayaan asing yang deras menyerbu salah satu Negara dengan jumlah penduduk
terbesar di dunia ini. Dalam hal musik misalnya. Kenapa musik dan lagu kita
justru tidak berdaulat di negeri sendiri. Bertaburnya grup band remaja yang
menduplikasi Korea (K-Pop) atau Jepang menjadi salah satu contohnya. Indsutri
Film kita pun setali tiga uang. Para produser berlomba mendatangkan bintang
film dari luar negeri dalam film yang mereka produksi. Sayangnya bukanlah artis
yang berkualitas yang didatangkan, justru hanya sekelas artis yang mengandalkan
keberanian mengumbar fisik semata.
Menyedihkan rasanya
menyaksikan betapa menjamurnya fenomena infiltrasi budaya yang merasuk dalam
perilaku masyarakat kita. Penetrasi budaya asing maupun lokal yang sejatinya
tidaklah sesuai dengan kebudayaan bangsa kita berkelindan dengan industri dan
kepentingan bisnis melaju deras. Menembus sekat-sekat jarak dan waktu dengan
perantaraan pekembangan teknologi iformasi yang kian maju. Dari pelosok desa
hingga jantung ibukota sindrom ini menyebar dan menginfeksi siapapun tanpa
pandang bulu. Anak-anak yang belum lancar berbicara pun menjadi korbannya.
Miris rasanya. Mari bahu membahu menjaga identitas kebudayaan nasional kita.
0 komentar:
Posting Komentar