Ipan Rosadi
Mahasiswa UBB/ Anggota KAMMI BABEL
Mengenang kembali Bapak Pendidikan
Nasional kita yaitu Ki Hajar Dewantoro yang hari lahrinya pada tanggal 2 mei
dinobatkan menjadi hari pendidikan nasional, beliau yang bernama asli Raden Mas
Soewardi telah lebih dahulu memulai geliat perjuangan dalam dunia pendidikan
indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan, beliau sempat mendirikan salah
satu taman siswa pada 3 Juli 1922 untuk sekolah kerakyatan di Yogyakarta dan
juga perlawanan tanpa lelah yang beliau lakukan kepada penjajah belanda yang
mencoba membunuh benih-benih pendidikan indonesia saat itu. Salah satu semboyan
beliau yang terkenal adalah Tut Wuri Handayani dan sampai hari ini
semboyan ini begitu kita kenal dan melekat dikepala kita namun tak banyak kita
yang paham tentang apa sebetulnya yang di dengungkan oleh semboyan tersebut.
Semboyan “Tut wuri handayani”, atau
aslinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Arti dari semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru
harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah
atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa
sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh
tindakan yang baik). Sehingga muncul kalimat “Di Depan, Seorang Pendidik harus
memberi Teladan atau Contoh Tindakan Yang Baik, Di tengah atau di antara Murid,
Guru harus menciptakan prakarsa dan ide, Dari belakang Seorang Guru harus
Memberikan dorongan dan Arahan” (Ki Hajar Dewantoro).
Teringat pula jualan yang paling sering diangkat oleh seorang calon legislatif,
calon bupati, calon gubernur, calon presiden atau siapapun yang katanya ingin
indonesia lebih baik agar rakyat lebih baik bahkan agar dunia ini lebih baik
ketika berorasi atau menyampaikan visi dan misinya didepan khalayak ramai maka
tema yang paling sering menjadi bidikan mereka adalah masalah pendidikan dan
kesehatan karena kedua hal itulah yang dapat menyangkut langsung dalam logika
berfikir masyarakat yang sebagian besar berpedoman pada logika kebermanfaatan
“apa yang akan mereka dapatkan”.
Namun karena hari ini adalah hari
pendidikan nasional maka penulis ingin mengangkat salah satu dari dua jualan
para calon pemimpin atau pemimpi tersebut yaitu pendidikan. Kita semua tahu
pendidikan ini adalah suatu masalah yang selalu menarik untuk dibicarakan atau
dibongkar muat paketnya karena hal ini sangat penting dan selalu menjadi topik
utama dalam setiap keluarga yang anaknya dalam masa-masa menempuh pendidikan
wajib atau pendidikan kebutuhan sehingga tidak sedikit orang tua yang rela
banting tulang mati-matian agar anaknya bisa menempuh pendidikan.
Berdasarkan data dalam Education
For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict
and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York,
Senin (1/3/201) waktu setempat, indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008
adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara
di dunia. Yang posisi ini masih jauh dibawah Brunai Darusalam yang meduduki
peringkat ke-34. tentu hal ini masih sangat jauh ketinggalan.
Ketika kita ingin belajar dari
salah satu negara dengan peringkat pendidikan terbaik dunia yaitu Finlandia
maka kita akan menemukan suatu paradoks yang mungkin sangat jauh dengan apa
yang terjadi di Tanah air tercinta. Walaupun Finlandia masuk dalam jajaran
peringkat pendidikan tertinggi di dunia yang di nilai berdasarkan penilaian di
bidang sains, membaca dan juga matematika, tetapi Finlandia tidaklah menerapkan
pendidikan yang super ketat ala pendidikan militer bahkan siswa diberi
kelonggaran dalam hal jam belajar yaitu hanya 30 jam perminggu tetapi toh
kenapa kenapa Finlandia mampu mencapai prestasi seperti itu, ternyata
rahasianya ada pada guru atau sang pengajar.
Pemerintah Finlandia sangat
menekankan tentang kualitas guru bahkan untuk menjadi seorang guru pengajar
disebuah sekolah menengah atas guru tersebut haruslah bergelar Doktor. Disana
telah ditanamkan bahwa prosfesi seorang guru adalah sebuah profesi yang sangat
dihargai, walaupun gaji guru disana tidak juga dinilai fantastis namun pola
pikir yang ditanamkan membuat orang-orang finlandia sangat terobsesi untuk
menjadi guru. Lulusan sekolah menengah atas terbaik biasanya justru mendaftar
untuk masuk ke universitas-universitas atau fakultas-fakultas pendidikan
dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima, persaingannya lebih ketat
daripada masuk ke universitas atau fakultas kedokteran dan hukum, juga yang
menarik disana adalah sistem pengajarannya yaitu jumlah maksimal siswa dalam
satu kelas hanya 15 orang dengan tenaga pengajar 3 orang sekaligus masuk
kedalam satu kelas, dan setiap guru mempunyai tanggung jawab terhadap 5 orang
siswa binaanya sampai lulus.
Ketika diperguruan tinggi mahasiswa
dan dosen mereka bebas untuk menentukan kurikulum mereka, buku yang mereka
suka, metode kelas apapun yang mereka suka. Jika negara-negara lain percaya
jika ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi
kualitas pendidikan, mereka justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang
menghancurkan tujuan belajar siswa.
Setelah melihat aspek-aspek
keberhasilan Finlandia dalam dunia pendidikan maka kita dapat menyimpulkan
bahwa faktor utama dari keberhasilan itu adalah guru bagaimana bangsa Finlandia
mampu memberikan doktrin yang sangat baik dengan menyatakan bahwa profesi yang
paling prestisius dibandingkan dengan yang lain dan teknik pendekatan guru
terhadap siswa yang dibinanya. Padahal cara ini sudah jauh-jauh hari
disampaikan oleh Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara dengan semboyan Tut
Wuri Handayani yang menimbulkan makna: “Di Depan, Seorang Pendidik harus
memberi Teladan atau Contoh Tindakan Yang Baik, Di tengah atau di antara Murid,
Guru harus menciptakan prakarsa dan ide, Dari belakang Seorang Guru harus
Memberikan dorongan dan Arahan”.
Indonesia membutuhkan sosok
pendidik atau sistem pendidikan yang benar-benar peduli bukan hanya sekedar
profesi, seorang atau sekelompok pendidik yang berani mengatakan bahwa saya
harus lebih giat berilmu dan mendampingi pengilmu-pengilmu baru. Disini sudah
dipaparkan lengkap tentang kualifikasi guru dan memang sangat berat untuk
menjadi seorang guru, sehingga hasil pendidikan yang didapat tidak hanya pintar
secara akademis namun juga berkarakter secara mental, jika peserta didik hanya
dibekali dengan kompetensi saja tanpa dibarengi dengan pembangunan karakter
maka bersiaplah menantikan kelahiran serigala-serigala baru yang mengancam
negeri ini namun akan lebih parah jika pendidikan yang dihasilkan adalah
pendidikan tanpa kompetensi apalagi karakter, sehingga tidak sedikit orang yang
bertahun-tahun mengalami pendidikan formal merasa tidak bisa apa-apa dan tidak
dapat apa-apa.
Jangan bermimpi untuk dapat
mendidik pemimpin-pemimpin yang besar dengan kapabilitas besar hanya dengan
melakukan ujian-ujian tertulis atau yang sejenisnya tapi rombak ulanglah
pemikiran peserta didik agar ia berpikir besar dan berkemauan besar dan ia
harus di didik selama 24 jam dalam pendidikan kehidupan, begitulah tugas guru
dengan tugas mulianya yang tak mungkin diemban oleh orang-orang biasa dengan
penanganan yang biasa namun dia haruslah diemban orang-orang luarbiasa dengan
konsep luar biasa sehingga tak segan orang menambahkan predikat guru dari
pahlawan tanpa tanda jasa menjadi pahlawan dengan taburan jasa yang takan ada
mahkluk yang mampu membalas jasanya. Selamat Hari Pendidikan Nasional.
0 komentar:
Posting Komentar