MANUFACTURING
HOPE PASCA
PILKADA
M.
Bachtiyar
Anggota
KAMMI Bangka Belitung
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgXKA4sjhTYzlQ0IKKW32M-Ys6GiCXEbV1IeBHuk3Z9jAiTQ0jC2b1DGalEbseyDx_d-Iy-fmN9Ti0rEGRO5zkxY8eCDmPcBrRax11XEK7DT9XIiTIeu5anMBGU1A4HO2a6ADSQwBKsQEY/s320/2012-03-05+08.19.52_2.jpg)
Tingginya angka masyarakat yang
tidak menggunakan hak pilihnya dalam perhelatan pesta demokrasi sebenarnya
bukan baru kali ini saja terjadi. Fenomena ini juga berulang kali terjadi pada
pelbagai pilkada di seluruh penjuru nusantara. Kisaran angka Golput yang berada
antara 30 % - 40 % bahkan terkadang lebih dari itu tak pelak memunculkan
kenyataan yang sesungguhnya teramat mengkhawatirkan dalam proses demokratisasi
yang sedang kita jalani.
Semakin rendahnya partisipasi
masyarakat dapat berarti pula semakin rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap banyak hal yang berkaitan dengan pemerintah baik dalam skala lokal
maupun nasional. Bisa pula berarti bahwa masyarakat semakin apatis terhadap
pemerintah. Sikap apatis ini pun akan semakin membahayakan stabilitas Negara
bila mengarah pada terjadinya social distrust. Ketika rasa apatis dan
tidak peduli sudah menjelma menjadi ketidakpercayaan terhadap pemerintah
potensi terjadinya chaos semakin membesar. Beberapa unjuk rasa yang
berujung pada kerusuhan dan amuk massa yang terjadi di beberapa daerah menjadi
bukti akan hal ini.
Banyak penyebab lahirnya golongan
putih alias golput ini. Beberapa karena dilandasi alasan ideologi atau
idealisme. Ada pula yang memang menjadi korban buruknya penyelenggaraan pesta
demokrasi sehingga tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap. Tetapi tak
sedikit pula masyarakat yang enggan untuk menuju bilik suara di TPS yang
sebenarnya dekat dari rumahnya karena mereka tak lagi percaya suara mereka akan
mampu merubah keadaan. Menurut penulis, nampaknya alasan terakhir ini adalah
alasan yang mendasari kebanyakan para pemilih yang golput.
Dalam hamper semua even politik,
nampaknya hantu pesimisme dan hilangnya harapan sudah menggelayuti masyarakat.
Aura pesimisime yang ada di masyarakat Nampak lebih dominan dibandingkan
harapan akan perubahan dan perbaikan yang sejatinya mereka inginkan. Dalam
pilkada, tawaran visi, misi, program dan janji para kandidat tampaknya tak
mampu membangkitkan optimism dan harapan masyarakat. Bahkan tak sedikit para
pemilih yang menggunakan haknya dengan datang ke TPS pun sebenarnya tidak
terlalu yakin bahwa pilihan mereka mampu
menghadirkan kesejahteraan untuk mereka. Mereka memilih lebih karena
alasan balas budi atas sejumlah uang atau barang, atau terkadang atas dasar
sentimen tertentu. misalnya kesamaan suku dan etnis, agama, atau adanya
hubungan pekerjaan dan keluarga.
Hingar bingar dunia politik yang
terjadi di skala local dan nasional memang harus diakui telah memberikan dampak
yang begitu nyata terhadap lunturnya harapan masyarakat. Berbagai kisruh di
tingkat kepemimpinan daerah dan nasional yang diiringi dengan mencuatnya
berbagai kasus korupsi yang dilakukan para pemimpin dan para wakil rakyat
membuat masyarakat semakin muak dengan aneka ragam aktivitas yang berkaitan
dengan politik. Pemberitaan aneka tingkah polah para politisi yang semakin
cenderung menghalalkan segala cara ala Machiavelli di media pun semakin membuat
masyarakat jenuh dan makin membuat mereka tak lagi menggantungkan harapan
terciptanya kesejahteraan kepada politik dan politisi.
Untuk membandingkan realita
maraknya golput hari ini, ada baiknya kita melihat kembali catatan sejarah
pelaksanaan Pemilihan Umum (pemilu) di tahun-tahun sebelumnya. Pelaksanaan
pemilu di Negara kita tercatat pernah sangat demokratis dan diikuti oleh penuh
antusiasme seluruh lapisan masyarakat di tahun 1955. Pemilu 1955 adalah pemilu
pertama yang dilakukan di Negara yang baru saja lepas dari belenggu
penjajajahan. Saat itu banyak panitia penyelenggara pemilu yang buta huruf
tetapi pelaksanannya dipuji oleh dunia.
Pada perkembangannya, ketika keran
politik dibatasi oleh orde baru, pelaksanaan pesta demokrasi berjalan menjadi
hambar. Pemilu menjadi alat legitimasi kekuasaan semata. Baru ketika arus
gerakan reformasi pada tahun 1998 mendobrak belenggu stagnasi status quo dan keran
politik kembali dibuka, gairah dan antusias masyarakat kembali melonjak tajam.
Harapan besar akan perubahan nasib bangsa mengantarkan masyarakat
berduyun-duyun datang memberikan suara pada pemilu tahun 1999.
Kondisi ini juga dapat dilihat
hari ini pada penyelenggaraan pemilu di beberapa Negara di kawasan Timur Tengah
yang baru saja mengalami musim semi (Arabic spring) misalnya Maroko,
Mesir, dan Tunisia. Setelah sekian lama mereka terbelenggu oleh otoriterianisme
dan pemerintahan yang diktator, ketika ruang partisipasi politik terbuka mereka
pun menyambutnya dengan antusiasme yang luar biasa besarnya. Angka partisipasi
masyarakat untuk memberikan suara pun begitu tinggi. Tercatat angka partsispasi
masyarakat di Negara – Negara tersebut lebih dari 90 %. Harapan akan lahirnya
perubahanlah yang merangkum alasan tingginya antusiasme masyarakat kita di
pemilu tahun 1995 dan 1999 serta pemilu di beberapa Negara di kawasan Timur
Tengah baru-baru ini.
Mencermati beberapa fenomena di
atas, kita dapat melihat bahwa diperlukan sebuah alasan yang kuat untuk
mendorong partisipasi masyarakat dalam perhelatan pesta demokrasi. Dalam
istilah yang dipopulerkan oleh Dahlan Iskan beberapa waktu terakhir ini adalah
mampukah para pemimpin di segala level memproduksi dan mengelola harapan (manufacturing
hope) bagi rakyat. Tugas dan peran ini pun sebenarnya bukan hanya monopoli
para pemimpin saja. Disini juga dibutuhkan peran dari para akademisi, politisa
dan partai politik, birokrat, pengusaha dan yang lainnya, tetapi tetap saja para
pemimpin dan para calon pemimpin yang dituntut lebih untuk menghadirkan harapan
bagi masyarakat.
Belajar dari keberhasilan AK Party
di Turki yang mampu memenangi pemilu 3 (tiga) kali secara berturut-turut dan
dibarengi dengan tingginya partisipasi masyarakat untuk memberikan suara, kunci
utama dari tumbuhnya harapan rakyat adalah dari terwujudnya perbaikan ekonomi
rakyat. Selama masa kepemimpinan mereka, tingkat pendapatan masyarakat
meningkat lebih dari 300 %. Turki yang tadinya tampak kumuh karena sekian lama
terbelenggu sekulerisme yang jumud berubah menjadi negeri yang sangat indah dan
selalu bergerak roda perokonomiannya.
Dalam prosesnya, menumbuhkan dan
mengelola harapan rakyat banyak tidaklah hanya cukup sekedar dengan pemberian
bantuan dan jaminan kesehatan untuk masyarakat, apalagi hanya sekedar retorika
dan pencitraan di media. Dibutuhkan ide-ide besar dan segar serta keberanian
dan kemampuan untuk menyiapkan terobosan-terobosan untuk menerobos begitu
banyak penghalang terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Ide segar dan terobosan
baru dirasa sangat penting hari ini meningat begitu banyaknya urusan yang
terlalu berbelit yang membuat rakyat semakin menjerit.
Di pundak para pemimpin lah
sejatinya harapan rakyat digantungkan. Di tangan mereka pula nasib rakyat akan
ditentukan. Bagi masyarakat Bangka Belitung, harapan itu kini mau tidak mau
akan dipercayakan kepada para pemimpin baru yang akan memimpin 5 (lima) tahun
kedepan. Impian akan peningkatan pendapatan dan perbaikan tingkat ekonomi
masyarakat tentu harus bisa terwujudkan. Tidak hanya sekedar meningkatkan
kekayaan sekelompok orang saja. Aneka permasalahan sosial yang ada pun butuh
untuk segera diselesaikan. Harapan kita, semoga Visi, Misi dan janji-janji
manis yang ditebar selama kampanye bisa terwujud. Tak dilupakan begitu saja
setelah kekuasaan digenggam. Apalagi bila hanya sekedar menjadi pemanis bibir
semata.
0 komentar:
Posting Komentar